mengukir gerabah |
Pager Jurang. Sebuah desa kecil di ujung barat kecamatan Bayat, berimpit dengan kecamatan Wedi, namun mampu mencuri perhatian masyarakat luas dengan kerajinan keramiknya. Sungguh desa kecil yang sangat kreatif. Keinginan besar masyarakat untuk melestarikan warisan leluhur mampu mengangkat kredibilitasnya dalam keramik. Keramik Pager Jurang terkenal karena proses pewarnannya yang alami, melalui efek pembakaran dengan kayu tertentu.
Selain itu, dalam hal produksi keramik Pager Jurang juga terkenal dengan teknik “Putaran Miring”-nya. Apakah itu? Teknik putaran miring adalah teknik membuat keramik dengan menggunakan lempengan bundar (roda perbot) terbuat dari kayu jati atau mahoni dengan diameter 35-40 cm dan tebal 5-6 cm yang diletakkan condong beberapa derajat ke depan.Selain menggunakan roda putar yang dipasang miring, teknik ini juga dilengkapi dengan pedal dan pegas dari bambu yang digerakkan dengan kaki. Proses pemutaran roda perbot dibantu dengan lulup (tali dari hati pohon waru) yang diikatkan pada galih (tangkai) perbot.
Selama proses pembuatan Keramik & Gerabah 7 pengukiran dalam keramik pembuatan gerabah, pengrajin mengolah tanah liat duduk di atas dingklik (kursi kayu kecil) dengan posisi menyamping. Posisi lempengan yang condong beberapa derajat ke depan membuat gerabah yang dihasilkan kecil dan pendek dengan lebar maksimal 23,5 cm dan tinggi 30 cm. Teknik ini berkembang sebagai satu jawaban atas dua hal. Untuk memudahkan proses produksi yang umumnya dilakukan oleh kaum perempuan sekaligus memungkinkan mereka melakukan pekerjaannya sesuai dengan etika yang berlaku. Secara etika, kaum perempuan juga dituntut untuk menjunjung nilai-nilai kesopanan dengan duduk miring dan tidak membuka paha saat mengolah tanah liat.
Selama proses pembuatan Keramik & Gerabah 7 pengukiran dalam keramik pembuatan gerabah, pengrajin mengolah tanah liat duduk di atas dingklik (kursi kayu kecil) dengan posisi menyamping. Posisi lempengan yang condong beberapa derajat ke depan membuat gerabah yang dihasilkan kecil dan pendek dengan lebar maksimal 23,5 cm dan tinggi 30 cm. Teknik ini berkembang sebagai satu jawaban atas dua hal. Untuk memudahkan proses produksi yang umumnya dilakukan oleh kaum perempuan sekaligus memungkinkan mereka melakukan pekerjaannya sesuai dengan etika yang berlaku. Secara etika, kaum perempuan juga dituntut untuk menjunjung nilai-nilai kesopanan dengan duduk miring dan tidak membuka paha saat mengolah tanah liat.
gerabah setengah jadi |
Dolon: Garda Depan Generasi Gerabah Bayat
Lain Pager Jurang, lain pula Dolon, pusat gerabah di bagian selatan Bayat. Kalau selama ini kalian sering menggunakan kuali, lemper, keren, ataupun kendi, mungkin dari Dolonlah peralatan-peralatan itu berasal. Ibu Parjinem, pengrajin sekaligus pengumpul gerabah dari beberapa pengrajin lain, mengungkapkan bahwa dari Dolonlah para pedagang gerabah dari sekitar Bayat biasa mengambil barang dagangannya. Namun, sejauh ini, menurut ibu Parjinem pembuatan gerabah Dolon masih sering terkendala masalah cuaca.
”Ya sulit ditebak Mbak, kalau panasnya cukup hasilnya ya lumayan, tetapi kalau kurang panas pengeringan gerbahnya juga jadi kurang sempurna!”, ungkapnya. Maksudnya adalah gerabah hanya kering di bagian luarnya, sementara bagian dalamnya masih basah.Dampaknya, gerabah akan mengalami keretakan setelah proses pembakaran. Sehingga bisa dibilang proses pembakaranlah yang akan menentukan nasib tanah. Tetap menjadi onggokan tanah, atau naik pangkat menjadi gerabah siap jual.
Begitulah, berkat tangan-tangan kreatif para pengrajin di Pager Jurang dan Dolonlah onggokan tanah yang bagi kita mungkin tidak ada gunanya bisa disulap menjadi barang-barang bernilai jual tinggi. Berkat mereka pula tanah liat dari Bayat bisa sampai ke berbagai kota, bahkan beberapa di antaranya bisa menembus pasar Jepang, Australia, bahkan Jerman dan Italia. Tanah sudah menjadi salah satu tumpuan hidup mereka, turun temurun, dari masa ke masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar