cover edisi pertama

cover edisi pertama

Sabtu, 27 November 2010

Namaku untuk sebuah Pendidikan

Minggu pagi. Hari yang seharusnya kami sambut dengan hati riang. Kami dapat mengistirahatkan pikiran setelah seminggu yang melelahkan. Namun, tidak untuk hari Minggu ini. Hujan deras mengguyur dari semalam.
“Seharusnya jam segini kita sudah menguliti kayu Ron”, kata Rino.
“Iya Rin….. Namun, kau lihat, cuaca hari ini kurang bersahabat dengan kita”, jawabku.
“Huuh, sayang sekali”, gumam Rino pelan.
“Ya…… Apa boleh buat, kita tunggu saja sampai hujan reda!”, ajakku pada Rino.
Hujan tak juga reda hingga sore datang, dan artinya tak ada uang tambahan yang kami berikan kepada Ibu.
***
Ibu kelihatan murung sejak tadi pagi, entah apa yang sedang beliau pikirkan.
“Ibu sedang memikirkan apa?”
“Hmm, Ibu memikirkan kalian dan keadaan kita saat ini Roni”, jawab Ibu.
“Tentang kami? Memangnya kenapa Bu?”, tanyaku penuh keheranan.
“Ibu merasa tidak adil pada kalian, Kalian bisa sekolah tetapi yang tercatat sebagai siswa hanya Rino sedangkan…. Ibu ingin melihat kalian berdua sekolah bersama. Namun ibu sadar dengan keadaan ekonomi kita, apalagi setelah Ayah kalian meninggal. Jadi penghasilan kita juga tidak seberapa”, ujar Ibu.
“Ibu jangan berpikir seperti itu, walaupun begitu aku sangat senang bisa merasakan sekolah sampai sekarang. Ya……walau aku tidak tercatat sebagai siswa SMA Sinar Harapan”, kata Roni.
Memang hampir 3 tahun ini kami bergantian masuk sekolah, jika hari ini aku, maka besok Rino dan lusanya aku lagi dan begitu seterusnya. Kami melakukan ini karena kami sama – sama ingin sekolah, tapi bisa dikatakan Rino lebih beruntung dari pada aku. Walaupun begitu aku tetap ingin sekolah dan akhirnya kami menemukan ide gila itu. Hanya ibu yang mengetahui hal ini. Pasti kalian bingung kenapa kami bisa melakukan hal itu dengan mudah. Yah, kami memang terlahir sebagai kembar identik jadi tidak banyak orang yang bisa membedakan kami.
***
Dua bulan lagi ujian kelulusan. Dan mulai hari ini aku memutuskan untuk tidak sekolah lagi. Aku memberikan kesempatan pada Rino agar ia bisa belajar lebih giat lagi untuk menghadapi ujian. Terkadang adarasa iri yang muncul dalam hatiku, tapi aku mencoba untuk bersikap lebih dewasa dan aku tidak mau lagi menambah beban pikiran Ibu.
***
Pagi ini, seperti biasa Rino berangkat sekolah. Hari ini adalah hari terakhirnya sebelum ia menempuh ujian lusa. Jam menunjukkan pukul 15.00 WIB, tapi Rino belum juga pulang.
“Seharusnya dia sudah pulang dari tadi, tapi sampai jam segini kok belum pulang ya?” gumamku.
“Roni, perasaan ibu kok tiba-tiba tidak enak , ada apa ya?” tanya ibu tiba – tiba.
“Roni tidak tahu Bu, tapi dari tadi perasaan Roni juga tidak enak . Mana Rino belum pulang juga ,” jawab Roni.
Akhirnya aku memutuskan untuk menyusul Rino ke sekolah. Sesampainya di sekolah , suasana sudah sepi.
“Sudah sepi ,mau aku cari kemana lagi ?”batinku.
“Rino, kok kamu disini?” tanya seorang siswa , dengan nada terheran.
“Emm…… Iya , memangnya ada apa ?” tanyaku.
“Bukannya tadi kamu tertabrak mobil dan masuk rumah sakit?”
“Apa??” teriakku. “Iya kamu tadi kan di rumah sakit, tapi kok sekarang kamu sudah disini?” tanya anak itu lagi.
“Ceritanya panjang, tolong antarkan aku ke rumah sakit?Please!” pintaku.“Oke” , jawab anak itu.
Kamipun bergegas ke rumah sakit: ke ruang ICU, tempat Rino dirawat. Sangat parah, ia kehilangan banyak darah. Kemungkinannya untuk selamat sangat tipis.
“Kamu?” tanya Pak Adi, kepala sekolah SMA Sinar Harapan.
“Saya Roni, kembaran Rino.” jawabkui terbata – bata.
“Roni ?”, tanya Pak Adi.
“ Iya Pak Adi” jawabku.
“ Kamu kenal dengan saya ?” tanya Pak Adi.
“Tentu, saya kenal Anda, Pak.”
“Bagaimana bisa?”.Akupun menceritakan semua yang kami lakukan selama ini .
“Jadi selama ini …………?”, tanya Pak Adi.
“Iya Pak, saya minta maaf!”
Semua orang yang ada di sana terdiam. Hingga dokter yang menangani Rinopun keluar dari ruangan .
“Maaf semuanya !” kata dokter itu.
“Maaf? Untuk apa Dok?” tanyaku.
“Kami tidak bisa menyelamatkan anak itu”, kata dokter itu pelan.
“Apa …….? Tidak mungkin!!!!!!”
***
Sehari setelah kepergian Rino suasana rumah masih sangat kacau. Ibu selalu menangis jika teringat dengan Rino, sebenarnya aku juga belum percaya bahwa Rino telah dipanggil oleh Sang Pencipta. Tok tok tok………., terdengar suara pintu yang diketuk.
“Assalamu'alaikum”, sapa seseorang yang suaranya mirip Pak Adi. Wa'alaikumusalam”, jawabku,
benar ternyata, Pak Adi. “Mari Pak silakan masuk! Ada apa ya Pak?”
“Terimakasih Roni, begini…. Kedatangan saya kemari adalah untuk menawarImu soal……..”, kata Pak Adi.
“Soal apa Pak?”, tanyaku keheranan. “Soal ujian yang akan dihadapi Rino jika ia masih di sini”,
kata Pak Adi. “Maksud Bapak apa?”, tanyaku. “Saya minta tolong kamu menggantikan Rino di ujian
kelulusan besok, karena saya ingin siswa SMA Sinar Harapan lulus 100%”, pinta Pak Adi.
“Apa….? Bapak tidak salah, mana mungkin Pak”
“Kenapa tidak Roni, kamu dan Rino itu sama dan selama
ini kamu juga sering bergantian untuk sekolah”, kata Pak Adi.
“Tapi Pak, ujian tinggal besok dan saya tidak ada persiapan sama sekali”.
“Roni, jadilah diri kamu sendiri. Karena saya tahu kamu sangat ingin sekolah kan? Apalagi kalau besok kamu bisa melanjutkan ke perguruan tinggi”, jelas Pak Adi.
“Lalu soal nama Pak?”, tanyaku.
“Soal nama kita bahas belakangan, yang penting kamu besok harus mengikuti ujian”.
Aku terdiam sejenak, dan akhirnya aku memutuskan menerima tawaran dari Pak Adi. Walau besok aku mengikuti ujian bukan dengan nama asliku, tetapi aku tetap akan mengerjakan soal ujian besok dengan sungguh – sungguh. Ini demi Rino, demi ibu dan demi masa depanku kelak.
***
Dua bulan berlalu, akhirnya aku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan dan aku sekarang sudah diterima di salah satu perguruan tinggi negeri. Oh iya, soal nama itu sekarang tidak terlalu aku pikirkan. Karena nama yang tercantum di ijazah adalah namaku “Roni Prasetya” bukan “Rino Prasetya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar